Sejarah Reog
Versi I ,
Menurut legenda Reog
atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu
Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya
karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena
itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa)
yang ditunggangi burung merak.
Sang prabu dilambangkan sebagai harimau
sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu
agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih
yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa
kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu,
reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama
Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran
komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian
membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian
besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang
beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam.
Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata
Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang
hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah,
maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng
Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana.
Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog.
Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono
Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan
Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang
putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas
kimpoi. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan
penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak).
Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari
Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono
turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog
digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria
tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum
Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi lain dalam Reog
Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu
Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan
patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri
Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima
cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari
situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reog mewakili sebuah huruf depan
kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang
sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang
Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas
pada kesenian Reog Ponorogo.
Versi II ,
Dahulu kala ada seorang puteri yang cantik jelita bernama
Dewi Sanggalangit. Ia puteri seorang raja yang terkenal di Kediri. Karena
wajahnya yang cantik jelita dan sikapnya yang lemah lembut banyak para pangeran
dan raja-raja yang ingin meminangnya untuk dijadikan sebagai istri.
Namun sayang Dewi Sanggalangit nampaknya belum berhasrat untuk berumah tangga.
Sehingga membuat pusing kedua orang tuanya. Padahal kedua orang tuanya sudah
sangat mendambakan hadirnya seorang cucu. “Anakku, sampai kapan kau akan
menolak setiap pangeran yang datang melamarmu?” tanya Raja pada suatu hari.
“Ayahanda… sebenarnya hamba belum berhasrat untuk bersuami. Namun jika ayahanda
sangat mengharapkan, baiklah. Namun hamba minta syarat, calon suami hamba harus
bisa memenuhi keinginan hamba.”
“Lalu apa keinginanmu itu?”
“Hamba belum tahu…”
“Lho? Kok aneh…?” sahut Baginda.
“Hamba akan bersemedi minta petunjuk Dewa. Setelah itu hamba akan menghadap
ayahanda untuk menyampaikan keinginan hamba.”
Demikianlah, tiga hari tiga malam Dewi Sanggalangit bersemedi. Pada hari
keempat ia menghadap ayahandanya.
“Ayahanda, calon suami hamba harus mampu menghadirkan suatu tontonan yang
menarik. Tontonan atau keramaian yang belum ada sebelumnya. Semacam tarian yang
diiringi tabuhan dan gamelan. Dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak
seratus empat puluh ekor. Nantinya akan dijadikan iringan pengantin. Terakhir
harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua.”
“Wah berat sekali syaratmu itu!” sahut Baginda.
Meski berat syaratnya itu tetap diumumkan kepada segenap khalayak ramai. Siapa
saja boleh mengikuti sayembara itu. Tidak peduli para pangeran, putera
bangsawan atau rakyat jelata.
Para pelamar yang tadinya menggebu-gebu untuk memperistri Dewi Sanggalangit
jadi ciut nyalinya. Banyak dari mereka yang mengundurkan diri karena merasa tak
sanggup memenuhi permintaan sang Dewi.
Akhirnya tinggal dua orang yang menyatakan sanggup memenuhi permintaan Dewi
Sanggalangit. Mereka adalah Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya dan Raja
Kelana sewandana dari Kerajaan Bantarangin.
Baginda Raja sangat terkejut mendengar kesanggupan kedua raja itu. Sebab Raja
Singabarong adalah manusia yang aneh. Ia seorang manusia yang berkepala
harimau. Wataknya buas dan kejam. Sedang Kelana sewandana adalah seorang raja
yang berwajah tampan dan gagah, namun punya kebiasaan aneh, suka pada anak
laki-laki. Anak laki-laki itu dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik.
Namun semua sudah terlanjur, Dewi Sanggalangit tidak bisa menggagalkan
persyaratan yang telah diumumkan.
Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya memerintah dengan bengis dan kejam. Semua
kehendaknya harus dituruti. Siapa saja dari rakyatnya yang membangkang tentunya
akan dibunuh. Raja Singabarong bertubuh tinggi besar. Dari bagian leher ke atas
berwujud harimau yang mengerikan. Berbulu lebat dan penuh dengan kutu-kutu.
Itulah sebabnya ia memelihara seekor burung merak yang rajin mematuki
kutu-kutunya.
Ia sudah mempunyai selir yang jumlahnya banyak sekali. Namun belum mempunyai
permaisuri. Menurutnya sampai detik ini belum ada wanita yang pantas menjadi
permaisurinya, kecuali Dewi Sanggalangit dari Kediri. Karena itu ia sangat
berharap dapat memenuhi syarat yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit.
Raja Singabarong telah memerintahkan kepada para abdinya untuk mencarikan
kuda-kuda kembar. Mengerahkan para seniman dan seniwatinya menciptakan tontonan
yang menarik, dan mendapatkan seekor binatang berkepala dua. Namun pekerjaan
itu ternyata tidak mudah. Kuda kembar sudah dapat dikumpulkan, namun tontonan
dengan kreasi baru belum tercipta, demikian pula binatang berkepala dua belum
didapatkannya.
Maka pada suatu hari ia memanggil patihnya yang bernama Iderkala.
“Hai Patih coba kamu selidiki sampai bagaimana si Kelana sewandana
mempersiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Kita jangan sampai kalah cepat oleh
Kelana sewandana.”
Patih Iderkala dengan beberapa prajurit pilihan segera berangkat menuju
kerajaan BanTarangin dengan menyamar sebagai seorang pedagang. Mereka
menyelidiki berbagai upaya yang dilakukan oleh Raja Kelana sewandana. Setelah
melakukan penyelidikan dengan seksama selama lima hari mereka kembali ke
Lodaya.
“Ampun Baginda. Kiranya si Kelana sewandana hampir berhasil mewujudkan
permintaan Dewi Sanggalangit. Hamba lihat lebih dari seratus ekor kuda kembar
telah dikumpulkan. Mereka juga telah menyiapkan tontonan yang menarik, yang
sangat menakjubkan.” Patih Iderkala melaporkan.
“Wah celaka! Kalau begitu sebentar lagi dia dapat merebut Dewi Sanggalangit
sebagai istrinya.” kata Raja Singabarong. “Lalu bagaimana dengan binatang
berkepala dua, apa juga sudah mereka siapkan?”
“Hanya binatang itulah yang belum mereka siapkan. Tapi nampaknya sebentar lagi
mereka dapat menemukannya.” sambung Patih Iderkala.
Raja Singabarong menjadi gusar sekali. Ia bangkit berdiri dari kursinya dan
berkata keras.
“Patih Iderkala! Mulai hari ini siapkan prajurit pilihan dengan senjata yang
lengkap. Setiap saat mereka harus siap diperintah menyerbu ke Bantarangin.”
Demikianlah, Raja Singabarong bermaksud merebut hasil usaha keras Raja Kelana
sewandana. Setelah mengadakan persiapan yang matang, Raja Singabarong
memerintahkan prajurit mata-mata untuk menyelidiki perjalanan yang akan
ditempuh Raja Kelana sewandana dari Wengker menuju Kediri. Rencananya Raja
Singabarong akan menyerbu mereka di perjalanan dan merampas hasil usaha Raja
Kelana sewandana untuk diserahkan sendiri kepada Dewi Sanggalangit.
Raja Kelana sewandana yang memerintah kerajaan Wengker berwajah tampan dan
bertubuh gagah. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun ada wataknya
yang tidak baik, ia suka mencumbui anak laki-laki. Ia menganggap anak laki-laki
yang berwajah tampan dan bertubuh molek itu seperti gadis-gadis remaja. Hal ini
sangat mencemaskan pejabat kerajaan dan para pendeta. Menimbulkan kesedihan
bagi para rakyat yang harus kehilangan anak laki-lakinya sebagai pemuas nafsu
Raja.
Patih Bujangganong dan pendeta istana sudah berusaha menasehati Raja agar
meninggalkan kebiasaan buruknya itu namun saran mereka tiada gunanya. Raja
tetap saja mengumpulkan puluhan anak laki-laki yang berwajah tampan.
Pada suatu hari Raja Kelana sewandana memanggil semua pejabat kerajaan dan para
pendeta. Ia berkata bahwa ia akan menghentikan kebiasaannya jika dapat
memperistri Dewi Sanggalangit dari Kediri. Sebab semalam ia mimpi bertemu
dengan gadis cantik jelita itu dalam tidur. Menurut para Dewa gadis itulah yang
akan menghentikan kebiasaan buruknya mencumbui anak laki-laki.
Seluruh pejabat dan pendeta menyetujui kehendak Raja yang ingin memperistri
Dewi Sanggalangit. Maka ketika mereka mendengar persyaratan yang diajukan Dewi
Sanggalagit, mereka tiada gentar, seluruh kawula kerajaan, baik para pejabat,
seniman, rakyat biasa rela bekerja keras guna memenuhi permintaan Dewi
Sanggalangit.
Karena mendapat dukungan seluruh rakyatnya maka dalam tempo yang tidak begitu
lama Raja Kelana sewandana dapat menyiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Hanya
binatang berkepala dua yang belum didapatnya. Patih Bujangganongyang bekerja
mati-matian mencarikan binatang itu akhirnya angkat tangan, menyatakan
ketidaksanggupannya kepada Raja.
“Tidak mengapa!” kata Raja Kelana sewandana. ”Soal binatang berkepala dua itu
aku sendiri yang akan mencarinya. Sekarang tingkatkan kewaspadaan, aku mencium
gelagat kurang baik dari kerajaan tetangga.”
“Maksud Baginda?” tanya Patih Bujangganong penasaran.
“Coba kau menyamar jadi rakyat biasa, berbaurlah dengan penduduk di pasar dan
keramaian lainnya.”
Perintah itu dijalankan, maka Patih Bujangganong mengerti maksud Raja. Ternyata
ada penyusup dari kerajaan Lodaya. Mereka adalah para prajurit pilihan yang
menyamar sebagai pedagang keliling. Patih Bujangganong yang juga mengadakan
penyamaran serupa akhirnya dapat mengorek keterangan secara halus apa maksud
prajurit Lodoya itu datang ke Bantarangin.
Prajurit Lodaya merasa girang setelah mendapatkan keterangan yang diperlukan.
Ia bermaksud kembali ke Lodoya. Namun sebelum melewati perbatasan, anak buah
Patih Bujangganong sudah mengepungnya, karena prajurit itu melawan maka
terpaksa para prajurit Bantarangin membunuhnya.
Patih Bujangganong menghadap Raja Kelana sewandana.
“Apa yang kau dapatkan?” tanya Raja Kelana sewandana.
“Ada penyusup dari kerajaan Lodaya yang ingin mengorek keterangan tentang usaha
Baginda memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Singabarong hendak
merampas usaha Baginda dalam perjalanan menuju Kediri.”
“Kurang ajar!“ sahut Raja Kelana sewandana. “Jadi Raja Singabarong akan
menggunakan cara licik untuk memperoleh Dewi Sanggalangit. Kalau begitu kita
hancurkan kerajaan Lodaya. Siapkan bala tentara kita.”
Sementara itu Raja Singabarong yang menunggu laporan dari prajurit mata-mata
yang dikirim ke Bantarangin nampak gelisah. Ia segera memerintahkan Patih
Iderkala menyusul ke perbatasan. Sementara dia sendiri segera pergi ke
tamansari untuk menemui si burung merak, karena pada saat itu kepalanya terasa
gatal sekali.
“Hai burung merak! Cepat patukilah kutu-kutu di kepalaku!” teriak Raja
Singabarong dengan gemetaran menahan gatal.
Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja
Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong.
Patukan-patukan si burung merak terasa nikmat, asyik, bagaikan buaian sehingga
Raja Singabarong terlena dan akhirnya tertidur. Ia sama sekali tak mengetahui
keadaan di luar istana. Karena tak ada prajurit yang berani melapor kepadanya.
Memang sudah diperintahkan kepada prajurit bahwa jika ia sedang berada di
tamansari siapapun tidak boleh menemui dan mengganggunya, jika perintah itu
dilanggar maka pelakunya akan dihukum mati.
Karena tertidur ia sama sekali tak mengetahui jika di luar istana pasukan
Bantarangin sudah datang menyerbu dan mengalahkan prajurit Lodaya. Bahkan Patih
Iderkala yang dikirim ke perbatasan telah binasa lebih dahulu karena berpapasan
dengan pasukan Bandarangin.
Ketika peperangan itu sudah merembet ke dalam istana dekat tamansari barulah
Raja Singabarong terbangun karena mendengan suara ribut-ribut. Sementara si
burung mereka masih terus bertengger mematuki kutu-kutu dikepalanya, jika
dilihat sepintas dari depan Raja Singabarong seperti binatang berkepala dua
yaitu berkepala harimau dan burung merak.
“Hai mengapa kalian ribut-ribut?” teriak Raja Singabarong.
Tak ada jawaban, kecuali berkelebatnya bayangan seseorang yang tak lain adalah
Raja Kelana sewandana. Raja Bantarangin itu tahu-tahu sudah berada di hadapan
Raja Singabarong.
Raja Singabarong terkejut sekali. “Hai Raja Kelana sewandana mau apa kau datang
kemari?”
“Jangan pura-pura bodoh!” sahut Raja Kelana sewandana. “Bukankah kau hendak
merampas usahaku dalam memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit!”
“Hem, jadi kau sudah tahu!” sahut Raja Singabarong dengan penuh rasa malu.
“Ya, maka untuk itu aku datang menghukummu!” berkata demikian Raja Kelana
sewandana mengeluarkan kesaktiannya. Diarahkan ke bagian kepala Raja
Singabarong. Seketika kepala Singabarong berubah. Burung merak yang bertengger
di bahunya tiba-tiba melekat jadi satu dengan kepalanya sehingga Raja
Singabarong berkepala dua.
Raja Singabarong marah bukan kepalang, ia mencabut kerisnya dan meloncat
menyerang Raja Kelana sewandana. Namun Raja Kelana sewandana segera mengayunkan
cambuk saktinya bernama Samandiman. Cambuk itu dapat mengeluarkan hawa panas
dan suaranya seperti halilintar.
“Jhedhaaar…!” begitu terkena cambuk Samandiman, tubuh Raja Singabarong
terpental, menggelepar-gelepar di atas tanah. Seketika tubuhnya terasa lemah
dan anehnya tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi binatang aneh, berkepala dua
yaitu kepala harimau dan merak. Ia tidak dapat berbicara dan akalnya telah
hilang. Raja Kelanaswandana segera memerintahkan prajurit Bandarangin untuk
menangkap Singabarong dan membawanya ke negeri Bantarangin.
Beberapa hari kemudian Raja Kelana sewandana mengirim utusan yang
memberitahukan Raja Kediri bahwa ia segera datang membawa persyaratan Dewi
Sanggalangit. Raja Kediri langsung memanggil Dewi Sanggalangit.
“Anakku apa kau benar-benar bersedia menjadi istri Raja Kelana sewandana?”
“Ayahanda… apakah Raja Kelanaswandana sanggup memenuhi persyaratan hamba?”
“Tentu saja, dia akan datang dengan semua persyaratan yang kau ajukan.
Masalahnya sekarang, tidakkah kau menyesal menjadi istri Raja Kelana
sewandana?”
“Jika hal itu sudah jodoh hamba akan menerimanya. Siapa tahu kehadiran hamba
disisinya akan merubah kebiasaan buruknya itu.” tutur Dewi Sanggalangit.
Demikianlah, pada hari yang ditentukan datanglah rombongan Raja Kelana
sewandana dengan kesenian Reyog sebagai pengiring. Raja Kelana sewandana datang
dengan iringan seratus empat puluh empat ekor kuda kembar, dengan suara
gamelan, gendang dan terompet aneh yang menimbulkan perpaduan suara aneh, merdu
mendayu-dayu. Ditambah lagi dengan hadirnya seekor binatang berkepala dua yang
menari-nari liar namun indah dan menarik hati. Semua orang yang menonton
bersorak kegirangan, tanpa terasa mereka ikut menari-nari dan
berjingkrak-jingkrak kegirangan mengikuti suara musik.
Demikianlah, pada akhirnya Dewi Sanggalangit menjadi permaisuri Raja Kelana
sewandana dan diboyong ke Bantarangin di Wengker. Wengker adalah nama lain dari
Ponorogo sehingga di kemudian hari kesenian Reyog itu disebut Reyog Ponorogo.
Kelono Sewandono
Bentuk perbantahan tipikal
semacam itu menegaskan bahwa sebenarnya kisah-kisah asal-usul reyog Ponorogo
tersebut merupakan tradisi tutur atau verbal arts. Seperti dikemukakan Richard
Bauman (1977), tradisi lisan sebenarnya kurang menilai penting ‘kebenaran’ hal
yang dinyatakan lewatpenuturan. Bobot pernyataan tidak dinilai berdasarkan
kebenaran yang diukur dari kesesuaian antara yang dikatakan dengan bukti-bukti
empiris.Dengan kata lain, unsur penutur dan cara penuturannya menjadi lebih
penting daripada kebenaran empirik pernyataannya. Oleh karenanya, permasalahan
yang berkembang mengenai kisah asal-usul Reyog Ponorogo dapat dipahami sebagai
persoalan pengalihan dari wacana lesan menjadi tulisan. Pengalihan tersebut
membawa serta pergeseran dari ‘kebenaran’ diskursif yang dinamis menuju
‘kebenaran’ tekstual yang statis. Format pertunjukan yang disusun tim kerja bentukan
pemerintah Kabupaten Ponorogo disusun berdasarkan kisah tentang Kelana
Sewandana yang muncul baik dalam versi Bantarangin maupun dalam versi Batara
Katong. Salah satu bentuk ‘pembakuan’ yang problematis adalah kehadiran tokoh
Kelana Sewandana sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pertunjukan Reyog
Ponorogo. Pertunjukan reyog di desa-desa seringkali tidak menampilkan peran
Kelana Sewandana, bahkan banyak kelompok reyog di wilayah Kabupaten Ponorogo
tidak memiliki pemain pemeran tokoh ini. Hasil wawancara dengan sejumlah
praktisi kesenian rakyat ini mengesankan bahwa sebenarnya bagi kebanyakan
kelompok reyog setempat kehadiran Kelana Sewandana bukan keharusan. Seorang
mantan aktivis reyog di desa Sawoo berusia sekitar 70 tahun menuturkan bahwa
pada tahun 1950-an kelompoknya kadang-kadang menampilkan Kelana Sewandana.
Dituturkan pula bahwa pemeran Kelana Sewandana desa tersebut sering menyisipkan
tembang jenis palaran dalam pementasan. Namun, ketika pemeran tersebut
meninggal dunia, cukup lama kelompok reyog desa Sawoo tersebut tidak
menampilkan peran raja Bantarangin tersebut. Baru pada akhir tahun 1990-an,
setelah di desa Sawoo ada seorang pemuda yang menempuh pendidikan tari di
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, maka kelompok reyog desa tersebut
memiliki pemeran Kelana Sewandana lagi. Kelangkaan pemeran tokoh Kelana
Sewandana merupakan hal yang lumrah dalam lingkungan kelompok reyog desa di
Ponorogo. Langkanya pemeran Kelana Sewandana sering dijelaskan sebagai akibat
dari tuntutan teknis tari yang tinggi bagi pemeran tokoh ini. Asumsi semacam
ini diperkuat oleh kenyataan bahwa sebagian besar pemeran Kelana Sewandana yang
ada di wilayah Kabupaten Ponorogo adalah mereka yang pernah mengenyam
pendidikan tari; baik di pendidikan formal maupun di sanggar-sanggar tari di
dalam atau luar kabupaten. Dewasa ini, meskipun terdapat semakin banyak orang
yang dapat memerankan Kelana Sewandana, kemunculan tokoh raja Bantarangin ini
dalam pertunjukan di desa-desa pun masih relatif jarang. Pengamatan di lapangan
menunjukkan adanya kecenderungan penari pemeran Kelana Sewandana hanya muncul
secara terbatas pada acara-acara tanggapan yang bersifat formal, misalnya pada acara
perkawinan. Pada acara-acara yang bersifat komunal dan kurang formal, misalnya
bersih desa atau kaulan nadar, umumnya tokoh raja Bantarangin ini tidak
ditampilkan
.
Bujangganong
Kecantikan Dewi Songgolangit yang tiada duanya,
membuat angan Patih Bujangganong melambung tinggi. Namun Patih Bujangganong
hanya mampu berharap meski harapan tersebut mustahil terjadi ibarat pungguk
merindukan bulan. Sekelumit cerita tersebut digambarkan dalam Tari Bujangganong
Gandrung dari Kabupaten Ponorogo yang mewakili Propinsi Jawa Timur di ajang
Festival Nasional Tari Tradional Indonesia 2008 yang berlangsung tanggal 4 – 8
Juni 2008 di Jakarta Convention Centre. Dalam festival yang diikuti peserta
dari 30 Provinsi di Indonesia, karya tari Bujangganong Gandrung meraih 2 Tropy
penghargaan bergengsi di tingkat Nasional yaitu sebagai 10 besar penyaji
terbaik dan 5 besar penata musik terbaik.
Dalam penampilan di Jakarta Convention Centre,
Tari Bujangganong Gandrung mendapat sambutan yang luar biasa dari penonton yang
memadati ruang Cendrawasih. Rampak irama gamelan Reyog yang demikian dahsyat
dan gerak tari yang demikian jenaka membuat penonton seakan tersihir dan sampai
pertunjukan berakhir penonton tidak beranjak dari tempat duduk dan tak
henti-hentinya memberikan sambutan yang hangat. Garapan tari Bujangganong
Gandrung ini ditata oleh koreografer Dedy Setya Amijaya SSn dan Agus Heri
Sugianto, SSn dengan penata busana Dimas Pramuka Admaji serta penata musik
Mardji dan Joko Susilo. Adapun penata artistik digarap oleh Surya Bentrang
Jenar dan pelatih tari Purbandari
Warok
Warok sampai sekarang masih
mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia
spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai
pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus
menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang
sejati. Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan
antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah
tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf
menuntut ilmu.
Hingga saat ini, Warok
dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib
tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok
adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki
kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal
Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang
dimilikinya. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan
tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah.
Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena
mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang
baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing
rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan
sampai pada pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh
harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu,
menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan
lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5
meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan
ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan
menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia
memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna
putih, senjata andalan para warok. Warok sejati pada masa sekarang hanya
menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu
masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai
seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah
selalu meminta restunya.
Jathilan
Jatilan adalah salah satu jenis
tarian rakyat yang bila ditelusur latar belakang sejarahnya termasuk tarian
yang paling tua di Jawa. Tari yang selalu dilengkapi dengan property berupa
kuda kepang ini lazimnya dipertunjukkan sampai klimaksnya, yaitu keadaan tidak
sadar diri pada salah seorang penarinya. Penari jatilan dahulu hanya berjumlah
2 orang tetapi sekarang bisa dilakukan oleh lebih banyak orang lagi dalam
formasi yang berpasangan. Tarian jatilan menggambarkan peperangan dengan naik
kuda dan bersenjatakan pedang. Selain penari berkuda, ada juga penari yang
tidak berkuda tetapi memakai topeng. Di antaranya adalah penthul, bejer, cepet,
gendruwo dan barongan.
Reog dan jatilan ini fungsinya
hanya sebagai tontonan/hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi reog pada zaman
dahulu yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang
memeriahkan iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk
kepentingan pelepas nadzar atau midhang kepasar. Perbedaan antara Jatilan dan
Reog antara lain adalah pertama, dalam permainan Jatilan penari kadang-kadang
bisa rnencapai trance, sedangkan pada Reog penari tidak bisa mengalami hal ini.
Kedua, pada Jatilan selama permainan berlangsung digunakan tempat / arena yang
tetap. Pada Reog selain permainannya tidak menggunakan arena atau tempat yang
tetap, juga sering diadakan untuk mengiringi suatu perjalanan ataupun upacara.
Mengenai kapan dan dimana lahirnya dua jenis kesenian ini orang tidak tahu.
Para pemain Jatilan dan Reog hanya mewarisi kesenian tersebut dari nenek moyang
mereka. Orang-orang umumnya menyatakan bahwa Jatilan dan Reog sudah ada sejak
dulu kala. Pendukung permainan ini tidak tentu jumlahnya tergantung pada banyak
sedikitnya anggota. Meskipun demikian biasanya pendukung tersebut sekitar 35 orang
dan terdiri dari laki-laki dengan perincian: penari 20 orang; penabuh instrumen
10 orang; 4 orang penjaga keamanan/ pembantu umum untuk kalau ada pemain yang
mengalami trance; dan 1 orang sebagai koordinator pertunjukan (pawang). Para
penari menggunakan property pedang yang dibuat dari bambu dan menunggang kuda
lumping. Di antara para penari ada yang memakai topeng hitam dan putih, bernama
Bancak (Penthul) untuk yang putih, dan Doyok (Bejer/Tembem) untuk yang hitam.
Kedua tokoh ini berfungsi sebagai pelawak, penari dan penyanyi untuk menghibur
prajurit berkuda yang sedang beristirahat sesudah perang-perangan. Ketika
menari para pemain mengenakan kostum dan tata rias muka yang realistis. Ada
juga group yang kostumnya non-realistis terutama pada tutup kepala; karena
group ini memakai irah-irahan wayang orang. Pada kostum yang realistis, tutup
kepala berupa blangkon atau iket (udeng) dan para pemain berkacamata gelap,
umumnya hitam. Selama itu ada juga baju/kaos rompi, celana panji, kain, dan
stagen dengan timangnya. Puncak tarian Jatilan ini kadang-kadang diikuti dengan
keadaan mencapai trance (tak sadarkan diri tetapi tetap menari) ada para
pemainnya. Sebelum pertunjukan Jatilan dimulai biasanya ada pra-tontonan berupa
tetabuhan dan kadang-kadang berupa dagelan/ lawakan.Kini keduanya sudah jarang
sekali ditemui.Pertunjukan ini bisa dilakukan pada malam hari, tetapi umumnya
diadakan pada siang hari.Pertunjukan akan berlangsung selama satu hari apabila
pertunjukannya memerlukan waktu 2 jam per babaknya, dan pertunjukan ini terdiri
dari 3 babak. Bagi group yang untuk 1 babak memerlukan waktu 3 jam maka dalam
sehari dia hanya akan main 2 babak.Pada umumnya permainan ini berlangsung dari
jam 09.00 sampai jam 17.00, termasuk waktu istirahat. Jika pertunjukan berlangsung
pada malam hari, maka pertunjukan akan dimulai pada jam 20.00 dan berakhir pada
jam 01.00 dengan menggunakan lampu petromak. Tempat pertunjukan berbentuk arena
dengan lantai berupa lingkaran dan lurus. Vokal hanya diucapkan oleh Pentul dan
Bejer dalam bentuk dialog dan tembang, sedangkan instrumen yang dipakai adalah
angklung 3 buah, bendhe 3 buah, kepyak setangkep dan sebuah kendang.Peralatan
musik ini diletakkan berdekatan dengan arena pertunjukan. Jatilan Gaya Baru.
Dewasa ini ada kemajuan dalam kesenian tan Jatilan dengan munculnya Jatilan
Gaya Baru di desa Jiapan, Tempel dan Sleman. Instrumen yang dipakai adalah
kendang, bendhe, gong, gender dan saron. Jadi jenis Jatilan ini sudah tidak
memakai angklung lagi.Yang menarik pada Jatilan ini adalah apabila pemain
berada dalam keadaan trance dia bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dan kalau
diperbolehkan dia bisa menunjuk orang yang telah mengganggu pertunjukan,
seandainya gangguan ini memang terjadi. Sering pula dalam keadaan trance ini
pemain meminta sebuah lagu dan ketika lagu itu dinyanyikan oleh pemain musik
ataupun oleh Pentul dan Bejer, penari yang trance tersebut erjoged mengikuti
irama lagu tersebut. Dalarn keadaan trance mata si penari tidak selalu
tertutup, ada juga penari yang matanya terbuka seperti dalam keadaan biasa.
Kuda lumping di sini tidak hanya 6 tetapi 10 buah. Dua kuda pasangan terdepan
berwarna putih, sedangkan yang 8 buah berwarna hitam. Dua kuda pasangan yang
ada di baris belakang adalah kuda kecil atau anak kuda (belo - Jawa). Anak kuda
ini dibentuk sedemikian rupa sehingga memberi kesan kekanak-kanakan. Kepala
kuda yang kecil memandang lurus ke depan, sedang kepala kuda yang lain
tertunduk. Perbedaan sikap kepala kuda lumping itu bukan hanya model atau
variasi, tetapi memang digunakan untuk menunjukkan atau memberi kesan bahwa
peran kuda tersebut berbeda dengan kuda-kuda yang lain dan gaya tarian orang
yang menunggang anak kuda agak berlainan, yaitu harus lebih lincah dan leluasa
dalam bergerak/bergaya, dan memberi kesan kekanak-kanakan.Di samping itu masih
banyak keunikan-keunikan yang menambah kemeriahan pertunjukan Jatilan Gaya Baru
ini.
BATARA KATONG
Sejarah lesan, yang berkembang
dari mulut ke mulut satu generasi selanjutnya menjadi penting posisinya,
terutama dalam kaitan analisis psiko historis. Karena dari sejarah lesan, yang
berkembang inilah muncul imajinasi, struktur keyakinan dan nilai masyarakat.
Terlepas, dari apakah sejarah lesan tidak merupakan hasil obyektif dari
penelitian sejarah? atau sering bercampur dengan berbagai mitologi? Sejarah
yang berkembang lewat tradisi lesan, bahkan menjadi semacam belief sebagaimana
telah di sebutkan di atas. Dibawah ini akan, mencoba di deskripsikan beberapa
hasil investigasi, penelitian dokumen yang kesemuanya tidak lain adalah
pernyataan lesan beberapa tokoh dan sesepuh dimasing-masing komunitas di
Ponorogo.
Sebagaimana telah di ulas di
awal tulisan ini bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan
penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat
ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh
penguasa didaerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang
bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.
Batoro Katong, memiliki nama
asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V
dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan
Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden
Fattah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya,
untuk berguru dibawah bimbingan Wali Songo di Demak. Brawijaya V yang pada masa
hidupnya berusaha di Islamkan oleh wali Songo, para Wali Islam tersebut
membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama
Islam untuk menjadi Istrinya.
Walaupun kemudian Prabu
Brawijaya sendiri gagal untuk di Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putrid
Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya
putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi ‘protes’ dari elit istana
yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga
Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.
Tokoh yang terakhir ini, kemudian ‘desersi’ untuk keluar dari Majapahit, dan
membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu. Ki Ageng Ketut Suryangalam
ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan
daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini namakan Kutu, kini
merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.
Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian
menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog
tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja
Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan
seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng
Kutu sendiri di simbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang
Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.
Pada akhirnya, upaya Ki Ageng
Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya di
anggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang
sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai
penerus ‘kejayaan’ Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga,
bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan
‘investigasi’ terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang
paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai
penguasa paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan
Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang ‘putra terbaiknya’ yakni yang
kemudian di kenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya
bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain. Saat Batoro
Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut
Budha, animisme dan dinamisme.
Singkat cerita, terjadilah
pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang
sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu.
Kemudian dengan ‘akal cerdasnya’ Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki
Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di ‘iming-imingi’ akan di
jadikan istri.
Kemudian Niken Gandini inilah
yang ‘dimanfaatkan’ Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, pusaka
pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu
menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom
Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo
(terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya
Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini di sebut sebagai Gunung Bacin,
terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng
Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini di mungkinkan
dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah ‘dihilangkannya’ Ki
Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa
dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan,
karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara.
Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana,
dan pusat Kota. dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan
namun pasti. Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai
di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif
tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan,
semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro
Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat
pengembangan agama Islam.
Dalam konteks inilah, keberadaan
Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan
politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap
perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katonglah yang
menjadi figur yang di idealkan, penguasa sekaligus ‘ulama. Pelacakan
‘genealogi’ kultur politik pesantren dan elite Ormas Islam di Ponorogo,
setidaknya dapat dimulai dari titik ini.
Dan terdapat dua konklusi
penting yang menurut penulis dapat ditarik upaya Batoro Katong yakni: pertama,
upaya meraih kekuasaan (berpolitik praktis) tidak lain adalah bagian dari misi
suci ‘berdakwah’ melalui politik. Kedua, mereka yang memiliki kultur
berbeda, dan dianggap seringkali berlawanan dengan nilai agama, berarti juga
adalah musuh secara politis yang harus ‘di kuasai’ dan kemudian ‘di
beradabkan’. Ketiga, untuk melakukan proses memberadabkan masyarakat
melalui agama, dan melakukan proses penjinakan-penjinakan unsur-unsur subversif
yang ada dalam masyarakat Ponorogo (misal: penjinakan Reog).