Minggu, 28 April 2013

MACAPAT

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu. Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan BaliSasakMadura, dan Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin.Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.

Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama,Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang ciliktembang tengahan dan tembang gedhé.Macapat digolongkan kepada kepada kategori tembang cilikdan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.

 

Etimologi

Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions.

Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.

Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat".Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé.Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.

 

Sejarah macapat

Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi. Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.

Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.

 

Struktur macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.

Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.

Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan.Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

 

 

Jenis metrum macapat

Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.

 

 

Tabel macapat

Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini :

Metrum

Gatra
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Tembang cilik / Sekar alit

Dhandhanggula

10

10i

10a

7u

9i

7a

6u

8a

12i

7a

Maskumambang

4

12i

6a

8i

8a







Sinom

9

8a

8i

8a

8i

7i

8u

7a

8i

12a


Kinanthi

6

8u

8i

8a

8i

8a

8i





Asmarandana

7

8a

8i

8a

7a

8u

8a




Durma

7

12a

7i

6a

7a

8i

5a

7i




Pangkur

7

8a

11i

8u

7a

12u

8a

8i




Mijil

6

10i

6o

10é

10i

6i

6u





Pocung

4

12u

6a

8i

12a







Tembang tengahan / Sekar madya

Jurudhemung

7

8a

8u

8u

8a

8u

8a

8u




Wirangrong

6

8i

8o

10u

6i

7a

8a





Balabak

6

12a

12a

12u





Gambuh

5

7u

10u

12i

8u

8o






Megatruh

5

12u

8i

8u

8i

8o






Tembang gedhé / Sekar ageng

Girisa

8

8a

8a

8a

8a

8a

8a

8a

8a



 

Contoh penggunaan metrum macapat

Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum

 

Dhandhanggula

 

Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.

Contoh (Serat Jayalengkara):

Bahasa Jawa

Bahasa Indonesia

Prajêng Medhang Kamulan winarni,

Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan,

narèndrâdi Sri Jayalengkara,

ketika sang raja agung Sri Jayalengkara

kang jumeneng nerpatiné,

yang bertahta sebagai raja

ambek santa budi alus,

memiliki pikiran tenang dan berbudi halus

nata dibya putus ing niti,

raja utama pandai dalam ilmu politik

asih ing wadya tantra,

mengasihi para bala tentara

paramartêng wadu,

sayang terhadap para wanita

widagdêng mring kasudiran,

teguh terhadap jiwa kepahlawanan

sida sedya putus ing agal lan alit,

berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah

tan kènger ing aksara.

tidak terpengaruh sihir.

Maskumambang

 

Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis

Sambaté mlas arsa

Luhnya marawayan mili

Gung tinamêng astanira

 

Sinom

 

Pangéran Panggung saksana,
Anyangking daluwang mangsi,
Dènira manjing dahana,
Alungguh sajroning geni,
Èca sarwi nenulis,
Ing jero pawaka murub.

Asmaradana

Aja turu soré kaki Ana Déwa nganglang jagad Nyangking bokor kencanané Isine donga tetulak Sandhang kelawan pangan Yaiku bagéyanipun wong welek sabar narima

 

Kinanthi

 

Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.

Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):

Anoman malumpat sampun,
Praptêng witing nagasari,
Mulat mangandhap katingal,
Wanodyâyu kuru aking,
Gelung rusak awor kisma,
Ingkang iga-iga kêksi.

 

Pangkur

 

Lumuh tukua pawarta,
Tan saranta nuruti hardengati,
Satata tansah tinemu,
Kataman martotama,
Kadarmaning narendra sudibya sadu,
Wus mangkana kalih samya,
Sareng manguswa pada ji.

(Haji Pamasa, Ranggawarsita)

 

Pangkur

 

Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karenan mardi siwi,
Mangka nadyan tuwa pikun,
Yen tan mekani rasa,
Yekti sepi sepa lir asepa samun,
Samangsane pakumpulan,
Gonyak ganyuk nglelingsemi.


Durma

 

Damarwulan aja ngucireng ngayuda, 12 a
Baliya sun anteni, 7 i
Mangsa sun mundura, 6 a
Lah Bisma den prayitna, 7 a
Katiban pusaka mami, 8 i
Mara tibakna, 5 a
Curiganira nuli. 7 i

(Langendriyan)

 

Mijil

 

Jalak uren mawurahan sami, 10 i
Samadya andon woh, 6 o
Amuwuhi malad wiyadine, 10 e
Ana manuk mamatuk sasari, 10 i
Angsoka sulastri, 6 i
Ruru karya gandrung. 6 u

(Haji Pamasa, Ranggawarsita)

 

Pucung

 

Pucung adalah salah satu dari 12 puisi jawa (tembang macapat) yang sangat sederhana sekali. Pucung biasa disebut juga dengan pocung. Pucung adalah tetembangan yang digunakan untuk mengingat pada kematian, karena dekat dengan kata “pocong” yaitu pembungkusan mayat saat mau dikubur. Selain itu pucung juga berarti woh-wohan (buah-buahan) yang memberikan kesegaran. Dan kata “cung” sendiri mengingatkan pada kuncung yang lucu. Oleh sebab itu perkembangan dari tembang ini merujuk kepada hal-hal lucu atau parikan atau bedhekan (tebakan).

Pucung sendiri memiliki watak kendur, tanpa adanya klimaks dan tujuan dalam cerita. Dalam membuat pucung tidak boleh asal-asalan karena ada aturannya.

Berikut aturan dari tembang pucung.

1. Guru gatra = 4
Artinya tembang ini memiliki 4 larik kalimat.

2. Juru wilangan = 12, 6, 8, 12
Maksudnya tiap kalimat harus bersuku kata seperti diatas. Kalimat pertama 12 suku kata. Kalimat kedua 6 suku kata. Kalimat ketiga 8 suku kata. Kalimat keempat 12 suku kata.

3. Guru lagu = u, a, i, a
Akhir suku kata dari setiap kalimat harus bervokal u, a, i, a

Berikut ini adalah contoh tembang pucung.

Ngelmu iku kelakone kanthi laku --> u
Lekase lawan kas --> a
Tegese kas nyantosani --> i
Setya budya pengekesing dur angkara --> a

Jurudemung

Tuladha iki dijupuk saka Serat Pranacitra

ni ajeng mring gandhok wétan

wus panggih lan Rara Mendut

alon wijilé kang wuwus

hèh Mendut pamintanira

adhedhasar adol bungkus

wus katur sarta kalilan

déning jeng kyai Tumenggung.


Tuladha iki dijupuk saka Serat Sekar-sekaran anggitan Mangkunegaran IV.

cirining serat iberan

kebo bang sungunya tanggung

saben kepi mirah ingsun

katon pupur lalamatan

kunir pita kasut kayu

wulucumbu Madukara paran margane ketemu

 

Wirangrong

 

Tuladha iki dijupuk saka Serat Wulang Rèh anggitan dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwana IV.

dèn samya marsudêng budi

wiwéka dipunwaspaos

aja-dumèh-dumèh bisa muwus

yèn tan pantes ugi

sanadyan mung sakecap

yèn tan pantes prenahira

 

Balabak

 

Tuladha iki dijupuk saka Serat Jaka Lodhang anggitan Ki Ranggawarsita.

byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang

mamèt wé

turut marga nyambi reramban janganan

antuké

praptêng wisma wusing nyapu atetebah

jogané


Tuladha iki anggitane Ki Padmosukoco.

kabalabak jroning jagad gedhe ana,

yektine

jagad cilik sinorotan surya, kembar

pandhane

soring surya ana gunung gung saguja,

blegere

 

Gambuh

 

Sekar gambuh ping catur,
Kang cinatur polah kang kalantur,
Tanpa tutur katula tula katali,
Kadaluwarsa katutuh,
Kapatuh pan dadi awon.

Megatruh

Tuladha iki dijupuk saka Babad Tanah Jawi anggitan Ki Yasadipura.

"sigra milir kang gèthèk sinangga bajul"

"kawan dasa kang njagèni"

"ing ngarsa miwah ing pungkur"

"tanapi ing kanan kéring"

"kang gèthèk lampahnya alon"

 

Girisa

 

Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani). Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama.

Dene utamaning nata, 8 a
Berbudi bawa leksana, 8 a
Lire berbudi mangkana, 8 a
Lila legawa ing driya, 8 a
Agung dennya paring dana, 8 a
Anggeganjar saben dina, 8 a
Lire kang bawa leksana, 8 a
Anetepi pangandika. 8 a


Sumber pustaka

  • Bernard Arps, 1992, Tembang in two traditions: performance and interpretation of Javanese literature. London: SOAS

  • Hedi I.R. Hinzler, 1994, Gita Yuddha Mengwi or Kidung Ndèrèt. A facsimile edition of manuscript Cod. Or. 23.059 in the Library of Leiden University. Leiden: ILDEP/Legatum Warnerianum

  • Karsono H. Saputra, 1992, Pengantar Sekar Macapat. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ISBN 979-8184-02-5

  • Th. C. van der Meij, 2002, Puspakrema. A Javanese Romance from Lombok. Leiden: CNWS. ISBN 90-5789-071-2

  • Th. Pigeaud, 1967, Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D. The Hague: Martinus Nyhoff

  • Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan

  • Prijohoetomo, 1934, Nawaruci : inleiding, Middel-Javaansche prozatekst, vertaling vergeleken met de Bimasoetji in oud-Javaansch metrum. Groningen: Wolters

  •  J.J. Ras, 1982, Inleiding tot het modern Javaans. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4

  • I.C. Sudjarwadi et al., 1980, Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Jember: Universitas Negeri Jember.

 

 

 

 

 

Senin, 28 Mei 2012

PANENGGAK PANDAWA



 Bima (Sanskerta: भीम, bhīma) atau Bimasena (Sanskerta: भीमसेन, bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.

Arti nama

Kata bhīma dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah "mengerikan". Sedangkan nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam bahasa Sanskerta dieja v(ri)kodara, artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke kegemarannya makan. Nama julukan yang lain adalah Bhimasena yang berarti panglima perang.

Kelahiran

Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa karena Pandu tidak dapat membuat keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang.

Masa muda

Pada masa kanak-kanak Pandawa dan Kurawa, kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara anak-anak sebayanya. Kekuatan tersebut sering dipakai untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Salah satu Korawa yaitu Duryodana, menjadi sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian tersebut tumbuh subur sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.
Pada suatu hari ketika para Kurawa serta Pandawa pergi bertamasya di daerah sungai Gangga, Suyudana menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima, yang sebelumnya telah dicampur dengan racun. Karena Bima tidak senang mencurigai seseorang, ia memakan makanan yang diberikan oleh Duryodana. Tak lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan menggunakan tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan rakit. Saat rakit yang membawa Bima sampai di tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Ajaibnya, bisa ular tersebut berubah menjadi penangkal bagi racun yang dimakan Bima. Ketika sadar, Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri untuk menemui rajanya, yaitu Antaboga.
Saat Antaboga mendengar kabar bahwa putera Pandu yang bernama Bima telah membunuh anak buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya minuman, yang semangkuknya memiliki kekuatan setara dengan sepuluh gajah. Lalu Bima meminumnya tujuh mangkuk, sehingga tubuhnya menjadi sangat kuat, setara dengan tujuh puluh gajah. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama delapan hari, dan setelah itu ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena orang yang dibencinya masih hidup. Ketika para [Pandawa] menyadari bahwa kebencian dalam hati Duryodana mulai bertunas, mereka mulai berhati-hati.

Pendidikan

Pada usia remaja, Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata, Bima lebih memusatkan perhatiannya untuk menguasai ilmu menggunakan gada, seperti Duryodana. Mereka berdua menjadi murid Baladewa, yaitu saudara Kresna yang sangat mahir dalam menggunakan senjata gada. Dibandingkan dengan Bima, Baladewa lebih menyayangi Duryodana, dan Duryodana juga setia kepada Baladewa.

Peristiwa di Waranawata

Ketika Bima beserta ibu dan saudara-saudaranya berlibur di Waranawata, ia dan Yudistira sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh Duryodana, yaitu Purocana, telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar. Bima hendak segera pergi, namun atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.
Pada suatu malam, Dewi Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang dekat dengan Purocana turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu dan saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan mereka. Oleh karena ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan Arjuna berada di lengannya.
Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri Hastinapura yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak kurang lebih tujuh puluh dua mil.

Peristiwa di Hidimbawana

Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/Arimbi yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri. Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang putera yang diberi nama Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan. Bima juga mempunyai anak dari Dropadi bernama Sutasoma, sedangkan anak dari pernikahannya dengan Putri Balandhara dari Kerajaan Kashi adalah Sarwaga. Semua anak Bima gugur dalam Perang di Kurukshetra.

Pembunuh Raksasa Baka

Setelah melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga [[brahmana]. Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, namun sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan menyerahkan Bima yang nantinya akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira sangsi, namun akhirnya ia setuju.
Pada hari yang telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura. Di sana ia menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang raksasa. Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima, kota Ekacakra tenang kembali. Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar cerita mengenai Dropadi dari seorang brahmana.

Bima dalam Bharatayuddha

Dalam perang di Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia berperang dengan menggunakan senjata gadanya yang sangat mengerikan.
Pada hari terakhir Bharatayuddha, Bima berkelahi melawan Duryodana dengan menggunakan senjata gada. Pertarungan berlangsung dengan sengit dan lama, sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana. Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan beberapa lama kemudian ia mati. Baladewa marah hingga ingin membunuh Bima, namun ditenangkan Kresna karena Bima hanya ingin menjalankan sumpahnya.

Bima dalam pewayangan Jawa

Bima sebagai tokoh wayang Jawa.
Bima adalah seorang tokoh yang populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan presiden Indonesia, Ir. Soekarno, pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan mengidentifikasikan dirinya mirip dengan karakter Bima. Nama Sukarno sendiri berasal dari nama Karna, panglima yang memihak Kaurawa.

Sifat

Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai macam senjata, antara lain: Kuku Pancakenaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuglindhu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.

Istri dan keturunan


Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu:
  1. Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
  2. Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
  3. Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.
Menurut versi Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, berputera Srenggini.

Nama lain

  • Bratasena
  • Balawa
  • Birawa
  • Dandungwacana
  • Nagata
  • Kusumayuda
  • Kowara
  • Bima
  • Pandusiwi
  • Bayusuta
  • Sena
  • Wijasena
  • Jagal Abilawa

REOG PONOROGO






Sejarah Reog

Versi I
Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak.
Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kimpoi. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak).

Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.

                                                   


Versi II ,
 Dahulu kala ada seorang puteri yang cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit. Ia puteri seorang raja yang terkenal di Kediri. Karena wajahnya yang cantik jelita dan sikapnya yang lemah lembut banyak para pangeran dan raja-raja yang ingin meminangnya untuk dijadikan sebagai istri.
Namun sayang Dewi Sanggalangit nampaknya belum berhasrat untuk berumah tangga. Sehingga membuat pusing kedua orang tuanya. Padahal kedua orang tuanya sudah sangat mendambakan hadirnya seorang cucu. “Anakku, sampai kapan kau akan menolak setiap pangeran yang datang melamarmu?” tanya Raja pada suatu hari.
“Ayahanda… sebenarnya hamba belum berhasrat untuk bersuami. Namun jika ayahanda sangat mengharapkan, baiklah. Namun hamba minta syarat, calon suami hamba harus bisa memenuhi keinginan hamba.”

“Lalu apa keinginanmu itu?”

“Hamba belum tahu…”

“Lho? Kok aneh…?” sahut Baginda.

“Hamba akan bersemedi minta petunjuk Dewa. Setelah itu hamba akan menghadap ayahanda untuk menyampaikan keinginan hamba.”

Demikianlah, tiga hari tiga malam Dewi Sanggalangit bersemedi. Pada hari keempat ia menghadap ayahandanya.

“Ayahanda, calon suami hamba harus mampu menghadirkan suatu tontonan yang menarik. Tontonan atau keramaian yang belum ada sebelumnya. Semacam tarian yang diiringi tabuhan dan gamelan. Dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor. Nantinya akan dijadikan iringan pengantin. Terakhir harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua.”

“Wah berat sekali syaratmu itu!” sahut Baginda.

Meski berat syaratnya itu tetap diumumkan kepada segenap khalayak ramai. Siapa saja boleh mengikuti sayembara itu. Tidak peduli para pangeran, putera bangsawan atau rakyat jelata.

Para pelamar yang tadinya menggebu-gebu untuk memperistri Dewi Sanggalangit jadi ciut nyalinya. Banyak dari mereka yang mengundurkan diri karena merasa tak sanggup memenuhi permintaan sang Dewi.

Akhirnya tinggal dua orang yang menyatakan sanggup memenuhi permintaan Dewi Sanggalangit. Mereka adalah Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya dan Raja Kelana sewandana dari Kerajaan Bantarangin.

Baginda Raja sangat terkejut mendengar kesanggupan kedua raja itu. Sebab Raja Singabarong adalah manusia yang aneh. Ia seorang manusia yang berkepala harimau. Wataknya buas dan kejam. Sedang Kelana sewandana adalah seorang raja yang berwajah tampan dan gagah, namun punya kebiasaan aneh, suka pada anak laki-laki. Anak laki-laki itu dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik.

Namun semua sudah terlanjur, Dewi Sanggalangit tidak bisa menggagalkan persyaratan yang telah diumumkan.

Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya memerintah dengan bengis dan kejam. Semua kehendaknya harus dituruti. Siapa saja dari rakyatnya yang membangkang tentunya akan dibunuh. Raja Singabarong bertubuh tinggi besar. Dari bagian leher ke atas berwujud harimau yang mengerikan. Berbulu lebat dan penuh dengan kutu-kutu. Itulah sebabnya ia memelihara seekor burung merak yang rajin mematuki kutu-kutunya.

Ia sudah mempunyai selir yang jumlahnya banyak sekali. Namun belum mempunyai permaisuri. Menurutnya sampai detik ini belum ada wanita yang pantas menjadi permaisurinya, kecuali Dewi Sanggalangit dari Kediri. Karena itu ia sangat berharap dapat memenuhi syarat yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit.

Raja Singabarong telah memerintahkan kepada para abdinya untuk mencarikan kuda-kuda kembar. Mengerahkan para seniman dan seniwatinya menciptakan tontonan yang menarik, dan mendapatkan seekor binatang berkepala dua. Namun pekerjaan itu ternyata tidak mudah. Kuda kembar sudah dapat dikumpulkan, namun tontonan dengan kreasi baru belum tercipta, demikian pula binatang berkepala dua belum didapatkannya.

Maka pada suatu hari ia memanggil patihnya yang bernama Iderkala.

“Hai Patih coba kamu selidiki sampai bagaimana si Kelana sewandana mempersiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Kita jangan sampai kalah cepat oleh Kelana sewandana.”

Patih Iderkala dengan beberapa prajurit pilihan segera berangkat menuju kerajaan BanTarangin dengan menyamar sebagai seorang pedagang. Mereka menyelidiki berbagai upaya yang dilakukan oleh Raja Kelana sewandana. Setelah melakukan penyelidikan dengan seksama selama lima hari mereka kembali ke Lodaya.

“Ampun Baginda. Kiranya si Kelana sewandana hampir berhasil mewujudkan permintaan Dewi Sanggalangit. Hamba lihat lebih dari seratus ekor kuda kembar telah dikumpulkan. Mereka juga telah menyiapkan tontonan yang menarik, yang sangat menakjubkan.” Patih Iderkala melaporkan.

“Wah celaka! Kalau begitu sebentar lagi dia dapat merebut Dewi Sanggalangit sebagai istrinya.” kata Raja Singabarong. “Lalu bagaimana dengan binatang berkepala dua, apa juga sudah mereka siapkan?”

“Hanya binatang itulah yang belum mereka siapkan. Tapi nampaknya sebentar lagi mereka dapat menemukannya.” sambung Patih Iderkala.

Raja Singabarong menjadi gusar sekali. Ia bangkit berdiri dari kursinya dan berkata keras.

“Patih Iderkala! Mulai hari ini siapkan prajurit pilihan dengan senjata yang lengkap. Setiap saat mereka harus siap diperintah menyerbu ke Bantarangin.”

Demikianlah, Raja Singabarong bermaksud merebut hasil usaha keras Raja Kelana sewandana. Setelah mengadakan persiapan yang matang, Raja Singabarong memerintahkan prajurit mata-mata untuk menyelidiki perjalanan yang akan ditempuh Raja Kelana sewandana dari Wengker menuju Kediri. Rencananya Raja Singabarong akan menyerbu mereka di perjalanan dan merampas hasil usaha Raja Kelana sewandana untuk diserahkan sendiri kepada Dewi Sanggalangit.

Raja Kelana sewandana yang memerintah kerajaan Wengker berwajah tampan dan bertubuh gagah. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun ada wataknya yang tidak baik, ia suka mencumbui anak laki-laki. Ia menganggap anak laki-laki yang berwajah tampan dan bertubuh molek itu seperti gadis-gadis remaja. Hal ini sangat mencemaskan pejabat kerajaan dan para pendeta. Menimbulkan kesedihan bagi para rakyat yang harus kehilangan anak laki-lakinya sebagai pemuas nafsu Raja.

Patih Bujangganong dan pendeta istana sudah berusaha menasehati Raja agar meninggalkan kebiasaan buruknya itu namun saran mereka tiada gunanya. Raja tetap saja mengumpulkan puluhan anak laki-laki yang berwajah tampan.

Pada suatu hari Raja Kelana sewandana memanggil semua pejabat kerajaan dan para pendeta. Ia berkata bahwa ia akan menghentikan kebiasaannya jika dapat memperistri Dewi Sanggalangit dari Kediri. Sebab semalam ia mimpi bertemu dengan gadis cantik jelita itu dalam tidur. Menurut para Dewa gadis itulah yang akan menghentikan kebiasaan buruknya mencumbui anak laki-laki.

Seluruh pejabat dan pendeta menyetujui kehendak Raja yang ingin memperistri Dewi Sanggalangit. Maka ketika mereka mendengar persyaratan yang diajukan Dewi Sanggalagit, mereka tiada gentar, seluruh kawula kerajaan, baik para pejabat, seniman, rakyat biasa rela bekerja keras guna memenuhi permintaan Dewi Sanggalangit.

Karena mendapat dukungan seluruh rakyatnya maka dalam tempo yang tidak begitu lama Raja Kelana sewandana dapat menyiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Hanya binatang berkepala dua yang belum didapatnya. Patih Bujangganongyang bekerja mati-matian mencarikan binatang itu akhirnya angkat tangan, menyatakan ketidaksanggupannya kepada Raja.

“Tidak mengapa!” kata Raja Kelana sewandana. ”Soal binatang berkepala dua itu aku sendiri yang akan mencarinya. Sekarang tingkatkan kewaspadaan, aku mencium gelagat kurang baik dari kerajaan tetangga.”

“Maksud Baginda?” tanya Patih Bujangganong penasaran.

“Coba kau menyamar jadi rakyat biasa, berbaurlah dengan penduduk di pasar dan keramaian lainnya.”

Perintah itu dijalankan, maka Patih Bujangganong mengerti maksud Raja. Ternyata ada penyusup dari kerajaan Lodaya. Mereka adalah para prajurit pilihan yang menyamar sebagai pedagang keliling. Patih Bujangganong yang juga mengadakan penyamaran serupa akhirnya dapat mengorek keterangan secara halus apa maksud prajurit Lodoya itu datang ke Bantarangin.

Prajurit Lodaya merasa girang setelah mendapatkan keterangan yang diperlukan. Ia bermaksud kembali ke Lodoya. Namun sebelum melewati perbatasan, anak buah Patih Bujangganong sudah mengepungnya, karena prajurit itu melawan maka terpaksa para prajurit Bantarangin membunuhnya.

Patih Bujangganong menghadap Raja Kelana sewandana.

“Apa yang kau dapatkan?” tanya Raja Kelana sewandana.

“Ada penyusup dari kerajaan Lodaya yang ingin mengorek keterangan tentang usaha Baginda memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Singabarong hendak merampas usaha Baginda dalam perjalanan menuju Kediri.”

“Kurang ajar!“ sahut Raja Kelana sewandana. “Jadi Raja Singabarong akan menggunakan cara licik untuk memperoleh Dewi Sanggalangit. Kalau begitu kita hancurkan kerajaan Lodaya. Siapkan bala tentara kita.”

Sementara itu Raja Singabarong yang menunggu laporan dari prajurit mata-mata yang dikirim ke Bantarangin nampak gelisah. Ia segera memerintahkan Patih Iderkala menyusul ke perbatasan. Sementara dia sendiri segera pergi ke tamansari untuk menemui si burung merak, karena pada saat itu kepalanya terasa gatal sekali.

“Hai burung merak! Cepat patukilah kutu-kutu di kepalaku!” teriak Raja Singabarong dengan gemetaran menahan gatal.

Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong.

Patukan-patukan si burung merak terasa nikmat, asyik, bagaikan buaian sehingga Raja Singabarong terlena dan akhirnya tertidur. Ia sama sekali tak mengetahui keadaan di luar istana. Karena tak ada prajurit yang berani melapor kepadanya. Memang sudah diperintahkan kepada prajurit bahwa jika ia sedang berada di tamansari siapapun tidak boleh menemui dan mengganggunya, jika perintah itu dilanggar maka pelakunya akan dihukum mati.

Karena tertidur ia sama sekali tak mengetahui jika di luar istana pasukan Bantarangin sudah datang menyerbu dan mengalahkan prajurit Lodaya. Bahkan Patih Iderkala yang dikirim ke perbatasan telah binasa lebih dahulu karena berpapasan dengan pasukan Bandarangin.

Ketika peperangan itu sudah merembet ke dalam istana dekat tamansari barulah Raja Singabarong terbangun karena mendengan suara ribut-ribut. Sementara si burung mereka masih terus bertengger mematuki kutu-kutu dikepalanya, jika dilihat sepintas dari depan Raja Singabarong seperti binatang berkepala dua yaitu berkepala harimau dan burung merak.

“Hai mengapa kalian ribut-ribut?” teriak Raja Singabarong.

Tak ada jawaban, kecuali berkelebatnya bayangan seseorang yang tak lain adalah Raja Kelana sewandana. Raja Bantarangin itu tahu-tahu sudah berada di hadapan Raja Singabarong.

Raja Singabarong terkejut sekali. “Hai Raja Kelana sewandana mau apa kau datang kemari?”

“Jangan pura-pura bodoh!” sahut Raja Kelana sewandana. “Bukankah kau hendak merampas usahaku dalam memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit!”

“Hem, jadi kau sudah tahu!” sahut Raja Singabarong dengan penuh rasa malu.

“Ya, maka untuk itu aku datang menghukummu!” berkata demikian Raja Kelana sewandana mengeluarkan kesaktiannya. Diarahkan ke bagian kepala Raja Singabarong. Seketika kepala Singabarong berubah. Burung merak yang bertengger di bahunya tiba-tiba melekat jadi satu dengan kepalanya sehingga Raja Singabarong berkepala dua.

Raja Singabarong marah bukan kepalang, ia mencabut kerisnya dan meloncat menyerang Raja Kelana sewandana. Namun Raja Kelana sewandana segera mengayunkan cambuk saktinya bernama Samandiman. Cambuk itu dapat mengeluarkan hawa panas dan suaranya seperti halilintar.

“Jhedhaaar…!” begitu terkena cambuk Samandiman, tubuh Raja Singabarong terpental, menggelepar-gelepar di atas tanah. Seketika tubuhnya terasa lemah dan anehnya tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi binatang aneh, berkepala dua yaitu kepala harimau dan merak. Ia tidak dapat berbicara dan akalnya telah hilang. Raja Kelanaswandana segera memerintahkan prajurit Bandarangin untuk menangkap Singabarong dan membawanya ke negeri Bantarangin.

Beberapa hari kemudian Raja Kelana sewandana mengirim utusan yang memberitahukan Raja Kediri bahwa ia segera datang membawa persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Kediri langsung memanggil Dewi Sanggalangit.

“Anakku apa kau benar-benar bersedia menjadi istri Raja Kelana sewandana?”

“Ayahanda… apakah Raja Kelanaswandana sanggup memenuhi persyaratan hamba?”

“Tentu saja, dia akan datang dengan semua persyaratan yang kau ajukan. Masalahnya sekarang, tidakkah kau menyesal menjadi istri Raja Kelana sewandana?”

“Jika hal itu sudah jodoh hamba akan menerimanya. Siapa tahu kehadiran hamba disisinya akan merubah kebiasaan buruknya itu.” tutur Dewi Sanggalangit.

Demikianlah, pada hari yang ditentukan datanglah rombongan Raja Kelana sewandana dengan kesenian Reyog sebagai pengiring. Raja Kelana sewandana datang dengan iringan seratus empat puluh empat ekor kuda kembar, dengan suara gamelan, gendang dan terompet aneh yang menimbulkan perpaduan suara aneh, merdu mendayu-dayu. Ditambah lagi dengan hadirnya seekor binatang berkepala dua yang menari-nari liar namun indah dan menarik hati. Semua orang yang menonton bersorak kegirangan, tanpa terasa mereka ikut menari-nari dan berjingkrak-jingkrak kegirangan mengikuti suara musik.

Demikianlah, pada akhirnya Dewi Sanggalangit menjadi permaisuri Raja Kelana sewandana dan diboyong ke Bantarangin di Wengker. Wengker adalah nama lain dari Ponorogo sehingga di kemudian hari kesenian Reyog itu disebut Reyog Ponorogo.


Kelono Sewandono
Bentuk perbantahan tipikal semacam itu menegaskan bahwa sebenarnya kisah-kisah asal-usul reyog Ponorogo tersebut merupakan tradisi tutur atau verbal arts. Seperti dikemukakan Richard Bauman (1977), tradisi lisan sebenarnya kurang menilai penting ‘kebenaran’ hal yang dinyatakan lewatpenuturan. Bobot pernyataan tidak dinilai berdasarkan kebenaran yang diukur dari kesesuaian antara yang dikatakan dengan bukti-bukti empiris.Dengan kata lain, unsur penutur dan cara penuturannya menjadi lebih penting daripada kebenaran empirik pernyataannya. Oleh karenanya, permasalahan yang berkembang mengenai kisah asal-usul Reyog Ponorogo dapat dipahami sebagai persoalan pengalihan dari wacana lesan menjadi tulisan. Pengalihan tersebut membawa serta pergeseran dari ‘kebenaran’ diskursif yang dinamis menuju ‘kebenaran’ tekstual yang statis. Format pertunjukan yang disusun tim kerja bentukan pemerintah Kabupaten Ponorogo disusun berdasarkan kisah tentang Kelana Sewandana yang muncul baik dalam versi Bantarangin maupun dalam versi Batara Katong. Salah satu bentuk ‘pembakuan’ yang problematis adalah kehadiran tokoh Kelana Sewandana sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pertunjukan Reyog Ponorogo. Pertunjukan reyog di desa-desa seringkali tidak menampilkan peran Kelana Sewandana, bahkan banyak kelompok reyog di wilayah Kabupaten Ponorogo tidak memiliki pemain pemeran tokoh ini. Hasil wawancara dengan sejumlah praktisi kesenian rakyat ini mengesankan bahwa sebenarnya bagi kebanyakan kelompok reyog setempat kehadiran Kelana Sewandana bukan keharusan. Seorang mantan aktivis reyog di desa Sawoo berusia sekitar 70 tahun menuturkan bahwa pada tahun 1950-an kelompoknya kadang-kadang menampilkan Kelana Sewandana. Dituturkan pula bahwa pemeran Kelana Sewandana desa tersebut sering menyisipkan tembang jenis palaran dalam pementasan. Namun, ketika pemeran tersebut meninggal dunia, cukup lama kelompok reyog desa Sawoo tersebut tidak menampilkan peran raja Bantarangin tersebut. Baru pada akhir tahun 1990-an, setelah di desa Sawoo ada seorang pemuda yang menempuh pendidikan tari di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, maka kelompok reyog desa tersebut memiliki pemeran Kelana Sewandana lagi. Kelangkaan pemeran tokoh Kelana Sewandana merupakan hal yang lumrah dalam lingkungan kelompok reyog desa di Ponorogo. Langkanya pemeran Kelana Sewandana sering dijelaskan sebagai akibat dari tuntutan teknis tari yang tinggi bagi pemeran tokoh ini. Asumsi semacam ini diperkuat oleh kenyataan bahwa sebagian besar pemeran Kelana Sewandana yang ada di wilayah Kabupaten Ponorogo adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan tari; baik di pendidikan formal maupun di sanggar-sanggar tari di dalam atau luar kabupaten. Dewasa ini, meskipun terdapat semakin banyak orang yang dapat memerankan Kelana Sewandana, kemunculan tokoh raja Bantarangin ini dalam pertunjukan di desa-desa pun masih relatif jarang. Pengamatan di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan penari pemeran Kelana Sewandana hanya muncul secara terbatas pada acara-acara tanggapan yang bersifat formal, misalnya pada acara perkawinan. Pada acara-acara yang bersifat komunal dan kurang formal, misalnya bersih desa atau kaulan nadar, umumnya tokoh raja Bantarangin ini tidak ditampilkan
.
Bujangganong
Kecantikan Dewi Songgolangit yang tiada duanya, membuat angan Patih Bujangganong melambung tinggi. Namun Patih Bujangganong hanya mampu berharap meski harapan tersebut mustahil terjadi ibarat pungguk merindukan bulan. Sekelumit cerita tersebut digambarkan dalam Tari Bujangganong Gandrung dari Kabupaten Ponorogo yang mewakili Propinsi Jawa Timur di ajang Festival Nasional Tari Tradional Indonesia 2008 yang berlangsung tanggal 4 – 8 Juni 2008 di Jakarta Convention Centre. Dalam festival yang diikuti peserta dari 30 Provinsi di Indonesia, karya tari Bujangganong Gandrung meraih 2 Tropy penghargaan bergengsi di tingkat Nasional yaitu sebagai 10 besar penyaji terbaik dan 5 besar penata musik terbaik.
Dalam penampilan di Jakarta Convention Centre, Tari Bujangganong Gandrung mendapat sambutan yang luar biasa dari penonton yang memadati ruang Cendrawasih. Rampak irama gamelan Reyog yang demikian dahsyat dan gerak tari yang demikian jenaka membuat penonton seakan tersihir dan sampai pertunjukan berakhir penonton tidak beranjak dari tempat duduk dan tak henti-hentinya memberikan sambutan yang hangat. Garapan tari Bujangganong Gandrung ini ditata oleh koreografer Dedy Setya Amijaya SSn dan Agus Heri Sugianto, SSn dengan penata busana Dimas Pramuka Admaji serta penata musik Mardji dan Joko Susilo. Adapun penata artistik digarap oleh Surya Bentrang Jenar dan pelatih tari Purbandari

Warok

Warok sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati. Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu.
Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
 
Jathilan

Jatilan adalah salah satu jenis tarian rakyat yang bila ditelusur latar belakang sejarahnya termasuk tarian yang paling tua di Jawa. Tari yang selalu dilengkapi dengan property berupa kuda kepang ini lazimnya dipertunjukkan sampai klimaksnya, yaitu keadaan tidak sadar diri pada salah seorang penarinya. Penari jatilan dahulu hanya berjumlah 2 orang tetapi sekarang bisa dilakukan oleh lebih banyak orang lagi dalam formasi yang berpasangan. Tarian jatilan menggambarkan peperangan dengan naik kuda dan bersenjatakan pedang. Selain penari berkuda, ada juga penari yang tidak berkuda tetapi memakai topeng. Di antaranya adalah penthul, bejer, cepet, gendruwo dan barongan.
Reog dan jatilan ini fungsinya hanya sebagai tontonan/hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi reog pada zaman dahulu yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas nadzar atau midhang kepasar. Perbedaan antara Jatilan dan Reog antara lain adalah pertama, dalam permainan Jatilan penari kadang-kadang bisa rnencapai trance, sedangkan pada Reog penari tidak bisa mengalami hal ini. Kedua, pada Jatilan selama permainan berlangsung digunakan tempat / arena yang tetap. Pada Reog selain permainannya tidak menggunakan arena atau tempat yang tetap, juga sering diadakan untuk mengiringi suatu perjalanan ataupun upacara. Mengenai kapan dan dimana lahirnya dua jenis kesenian ini orang tidak tahu. Para pemain Jatilan dan Reog hanya mewarisi kesenian tersebut dari nenek moyang mereka. Orang-orang umumnya menyatakan bahwa Jatilan dan Reog sudah ada sejak dulu kala. Pendukung permainan ini tidak tentu jumlahnya tergantung pada banyak sedikitnya anggota. Meskipun demikian biasanya pendukung tersebut sekitar 35 orang dan terdiri dari laki-laki dengan perincian: penari 20 orang; penabuh instrumen 10 orang; 4 orang penjaga keamanan/ pembantu umum untuk kalau ada pemain yang mengalami trance; dan 1 orang sebagai koordinator pertunjukan (pawang). Para penari menggunakan property pedang yang dibuat dari bambu dan menunggang kuda lumping. Di antara para penari ada yang memakai topeng hitam dan putih, bernama Bancak (Penthul) untuk yang putih, dan Doyok (Bejer/Tembem) untuk yang hitam. Kedua tokoh ini berfungsi sebagai pelawak, penari dan penyanyi untuk menghibur prajurit berkuda yang sedang beristirahat sesudah perang-perangan. Ketika menari para pemain mengenakan kostum dan tata rias muka yang realistis. Ada juga group yang kostumnya non-realistis terutama pada tutup kepala; karena group ini memakai irah-irahan wayang orang. Pada kostum yang realistis, tutup kepala berupa blangkon atau iket (udeng) dan para pemain berkacamata gelap, umumnya hitam. Selama itu ada juga baju/kaos rompi, celana panji, kain, dan stagen dengan timangnya. Puncak tarian Jatilan ini kadang-kadang diikuti dengan keadaan mencapai trance (tak sadarkan diri tetapi tetap menari) ada para pemainnya. Sebelum pertunjukan Jatilan dimulai biasanya ada pra-tontonan berupa tetabuhan dan kadang-kadang berupa dagelan/ lawakan.Kini keduanya sudah jarang sekali ditemui.Pertunjukan ini bisa dilakukan pada malam hari, tetapi umumnya diadakan pada siang hari.Pertunjukan akan berlangsung selama satu hari apabila pertunjukannya memerlukan waktu 2 jam per babaknya, dan pertunjukan ini terdiri dari 3 babak. Bagi group yang untuk 1 babak memerlukan waktu 3 jam maka dalam sehari dia hanya akan main 2 babak.Pada umumnya permainan ini berlangsung dari jam 09.00 sampai jam 17.00, termasuk waktu istirahat. Jika pertunjukan berlangsung pada malam hari, maka pertunjukan akan dimulai pada jam 20.00 dan berakhir pada jam 01.00 dengan menggunakan lampu petromak. Tempat pertunjukan berbentuk arena dengan lantai berupa lingkaran dan lurus. Vokal hanya diucapkan oleh Pentul dan Bejer dalam bentuk dialog dan tembang, sedangkan instrumen yang dipakai adalah angklung 3 buah, bendhe 3 buah, kepyak setangkep dan sebuah kendang.Peralatan musik ini diletakkan berdekatan dengan arena pertunjukan. Jatilan Gaya Baru. Dewasa ini ada kemajuan dalam kesenian tan Jatilan dengan munculnya Jatilan Gaya Baru di desa Jiapan, Tempel dan Sleman. Instrumen yang dipakai adalah kendang, bendhe, gong, gender dan saron. Jadi jenis Jatilan ini sudah tidak memakai angklung lagi.Yang menarik pada Jatilan ini adalah apabila pemain berada dalam keadaan trance dia bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dan kalau diperbolehkan dia bisa menunjuk orang yang telah mengganggu pertunjukan, seandainya gangguan ini memang terjadi. Sering pula dalam keadaan trance ini pemain meminta sebuah lagu dan ketika lagu itu dinyanyikan oleh pemain musik ataupun oleh Pentul dan Bejer, penari yang trance tersebut erjoged mengikuti irama lagu tersebut. Dalarn keadaan trance mata si penari tidak selalu tertutup, ada juga penari yang matanya terbuka seperti dalam keadaan biasa. Kuda lumping di sini tidak hanya 6 tetapi 10 buah. Dua kuda pasangan terdepan berwarna putih, sedangkan yang 8 buah berwarna hitam. Dua kuda pasangan yang ada di baris belakang adalah kuda kecil atau anak kuda (belo - Jawa). Anak kuda ini dibentuk sedemikian rupa sehingga memberi kesan kekanak-kanakan. Kepala kuda yang kecil memandang lurus ke depan, sedang kepala kuda yang lain tertunduk. Perbedaan sikap kepala kuda lumping itu bukan hanya model atau variasi, tetapi memang digunakan untuk menunjukkan atau memberi kesan bahwa peran kuda tersebut berbeda dengan kuda-kuda yang lain dan gaya tarian orang yang menunggang anak kuda agak berlainan, yaitu harus lebih lincah dan leluasa dalam bergerak/bergaya, dan memberi kesan kekanak-kanakan.Di samping itu masih banyak keunikan-keunikan yang menambah kemeriahan pertunjukan Jatilan Gaya Baru ini.

BATARA KATONG

 Sejarah lesan, yang berkembang dari mulut ke mulut satu generasi selanjutnya menjadi penting posisinya, terutama dalam kaitan analisis psiko historis. Karena dari sejarah lesan, yang berkembang inilah muncul imajinasi, struktur keyakinan dan nilai masyarakat. Terlepas, dari apakah sejarah lesan tidak merupakan hasil obyektif dari penelitian sejarah? atau sering bercampur dengan berbagai mitologi? Sejarah yang berkembang lewat tradisi lesan, bahkan menjadi semacam belief sebagaimana telah di sebutkan di atas. Dibawah ini akan, mencoba di deskripsikan beberapa hasil investigasi, penelitian dokumen yang kesemuanya tidak lain adalah pernyataan lesan beberapa tokoh dan sesepuh dimasing-masing komunitas di Ponorogo.
Sebagaimana telah di ulas di awal tulisan ini bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa didaerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.
Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fattah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru dibawah bimbingan Wali Songo di Demak. Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di Islamkan oleh wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.
Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putrid Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi ‘protes’ dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali. Tokoh yang terakhir ini, kemudian ‘desersi’ untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu. Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini namakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.
Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri di simbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.
Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya di anggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus ‘kejayaan’ Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan ‘investigasi’ terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang ‘putra terbaiknya’ yakni yang kemudian di kenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.
Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan ‘akal cerdasnya’ Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di ‘iming-imingi’ akan di jadikan istri.
Kemudian Niken Gandini inilah yang ‘dimanfaatkan’ Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini di sebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini di mungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah ‘dihilangkannya’ Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota. dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti. Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.
Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katonglah yang menjadi figur yang di idealkan, penguasa sekaligus ‘ulama. Pelacakan ‘genealogi’ kultur politik pesantren dan elite Ormas Islam di Ponorogo, setidaknya dapat dimulai dari titik ini.
Dan terdapat dua konklusi penting yang menurut penulis dapat ditarik upaya Batoro Katong yakni: pertama, upaya meraih kekuasaan (berpolitik praktis) tidak lain adalah bagian dari misi suci ‘berdakwah’ melalui politik. Kedua, mereka yang memiliki kultur berbeda, dan dianggap seringkali berlawanan dengan nilai agama, berarti juga adalah musuh secara politis yang harus ‘di kuasai’ dan kemudian ‘di beradabkan’. Ketiga, untuk melakukan proses memberadabkan masyarakat melalui agama, dan melakukan proses penjinakan-penjinakan unsur-unsur subversif yang ada dalam masyarakat Ponorogo (misal: penjinakan Reog).